Berdasarkan KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia), malang memiliki 2 arti kata, yakni : 1) terletak melintang dan 2) bernasib buruk, celaka, sial. Demikian pula dalam bahasa jawa "malang" jika di Indonesiakan artinya melintang.
LAMBANG KOTA MALANG |
Namun MALANG sebagai nama kota, tidak berarti melintang atau bernasib sial, demikian yang ditemukan dalam catatan-catatan jaman dulu atau dalam prasasti-prasasti peninggalan raja-raja atau pun kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di sekitar wilayah Malang.
Nama Malang sampai saat ini masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli sejarah. Menurut hipotesis pertama, Malangkuçeçwara (diucapkan [malaŋkuʃeʃworo]) yang tertulis di dalam lambang kota itu merupakan nama sebuah bangunan suci yang terletak di Gunung Buring yang memiliki puncak yang bernama Malang. Hipotesis kedua menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, suatu tempat di sebelah utara Kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuko, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuça (diucapkan [malankuʃoː]) yang diucapkan terbalik.
Lambang Kota Malang pada 7 Juli 1937 - 30 Oktober 1951 |
Lambang Kota Malang pada 30 Oktober 1951 - 1 April 1964 |
Meskipun hipotesis-hipotesis tersebut belum ditentukan kebenarannya, dalam sebuah prasasti tembaga yang ditemukan pada akhir tahun 1974 di perkebunan di Wlingi, Blitar tertulis dalam salah satu bagiannya sebagai berikut.
...taning sakrid Malang-akalihan
wacid lawan macu pasabhanira
dyah Limpa Makanagran I...
…di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang
bersama wacid dan mancu,
persawahan Dyah Limpa yaitu…
Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti itu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Nama Malangkuçeçwara terdiri atas 3 kata, yakni mala yang berarti kecurangan, kepalsuan, dan kejahatan, angkuça (diucapkan [aŋkuʃo]) yang berarti menghancurkan atau membinasakan, dan içwara (diucapkan [iʃworo]) yang berarti Tuhan. Oleh karena itu, Malangkuçeçwara berarti Tuhan telah menghancurkan kejahatan.
Prasasti Dinoyo dan Candi Badut, bukti bahwa Kerajaan Kanjuruhan adalah tonggak perkembangan Kota Malang.
Hipotesis-hipotesis terdahulu berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata membantah atau menghalang-halangi (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Pada suatu hari, Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang, namun rakyat setempat membantah. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Munculnya Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Oleh karena itu, kerajaan tersebut dianggap sebagai cikal bakal kota ini.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, pada masa emas kerajaan Singhasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Sultan Mataram dari Jawa Tengah lah yang akhirnya datang dan berhasil menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Nama Arema adalah legenda Malang. Adalah Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama hingga seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis dalam Kitab Negarakertagama. Kebo Arema pula yang menjadi penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kemudian bisa menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sebagai raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya dekat Kota Malang.
Sampai akhirnya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak tahu persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema adalah akronim dari Arek Malang. Arema kemudian menjelma menjadi semacam "subkultur" dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di antaranya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepak bola adalah olahraga yang menjadi jalan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga kelahiran tim sepak bola Arema adalah sebuah keniscayaan.
Arema menjadi semacam identitas khusus bagi arek-arek Malang atau Kera Ngalam (penyebutan kera di sini tidak seperti penyebutan kera oleh orang Jawa/Sunda, tetapi seperti orang Batak, Sulawesi, Maluku atau Papua jika menyebutkan kera, seperti itulah) namun tidak sedikit yang mempopulerkan sebutan Orang Malang atau Gnaro Ngalam. Masyarakat Malang Raya cukup bangga dengan sebutan Arema, disamping ketenaran pengorganisasian suporter Klub Sepakbola Arema (meski pernah terjadi Arena Kembar dan juga adanya Arema Cronus), Arema FC tetap populer sepopuler sebutan Arema yang sudah mendunia, bahkan komunitas Arema di Jakarta yang bergabung diantaranya pejabat negara, pengusaha, artis/selebritis, dan lain-lain yang menyebut dirinya Gnaro Ngalam.
Dituturkan dengan referensi berbagai sumber oleh :
Kak Uber Suhartono (pelaku PW Aspac I 1978; aktifis Pramuka Malang Kodya; member Forum Pandu Ngalam)